Kamis, 26 Juli 2012

FAIRISH [chapter - 01] versi RiFy


SATU

***

SEMUA mata menatap tekesima. Sosok itu berdiri seperti magnet yang kuat. Memukau dengan segala pesona yang dimilikinya. Tubuhnya tinggi menjulang, dan wajahnya memancarkan keangkuhan yang sempurna.

“Nama saya Mario Stevano Aditya Haling. Tapi cukup panggil Rio aja,” ucapnya.

Tegas tapi dingin. Dan sama sekali tanpa senyuman. Sedikit pun!

“Gila! Namanya keren banget!” kata Febby pelan.

“Alaaa, gitu aja keren!” ejek satu suara di belakang. Febby menoleh. Tampangnya langsung sewot.

“Daripada elo! Jauh-jauh dari kampoeng hijrah ke Jakarta, eh begitu lahir namanya Dayat lagi Dayat lagi,” telak banget serangan balik dari Febby.

“Sudah! Sudah!” potong Bu Ira, wali kelas XII IPA 1.

“Silahkan, Rio, pilih tempat kamu.”

Rio mengangguk hormat, lalu memandang berkeliling. Cewek-cewek langsung sibuk overacting. Berusaha menarik perhatian Rio supaya  duduk tak jauh dari mereka. Tapi pilihan Rio jatuh ke seraut wajah tak acuh yang sejak awal menarik perhatiannya. Wajah yang dia tahu persis betul-betul tak peduli, yang sejak tadi cuma menatapnya tanpa ekspresi dan lebih sering memandang sekeliling, menikmati kehebohan di sekitarnya.

Rio menatap Ify, sang pemilik wajah, yang sedang mengangguk-angguk sambil tertawa ke arah Deva, cowok yang duduk di depannya. Di hampirinya meja cewek itu.

“Hai..” sapa Rio dengan suara yang lebih tepat dibilang bentakan pelan daripada negur. Ify menoleh kaget dan kontan terperangah.

“Boleh duduk di sini, kan?”

“Hmm..” Dengan wajah bingung Ify menoleh ke Deva. Tadi cowok itu bilang mau pindah ke sebelah Ify, gara-gara dongkol dengan manusia di sebelahnya, Keke.

“Tapi...” kalimat Ify terpengal, karena begitu dia menoleh, Rio telah bertengger manis di sebelahnya.

“Deva mau duduk di… sini...,” sambung Ify gagap.

“Silahkan,” jawab Rio tenang. “Gue gak keberatan duduk bertiga.”

Ify tercengang. Cowok ini.... ganteng, tapi udik. Duduk bertiga? Emang bajaj?

***

Jam kukuk di tangah ruang baru saja selesai berteriak dua belas kali. Dan Ify masih saja bengong di depan pantulan dirinya di cermin sejak beberapa jam tadi. Dia masih susah mengerti.  Masih—can’t believe at all and amazing really. Rio anak baru yang keren banget  itu... memilih duduk di sebelahnya! Gila kan, tuh? Amazing, kan? Unbelievable, kan? Makanya dia jadi takut tidur. Takutnya ini cuma mimpi dan besoknya. Pagi-pagi buta, dia terbangun.

Ini pertama kalinya dalam sejarah jam bekernya kalah langkah. Dan ketika si Smile—jam bekernya—benda kuning itu, memperdengarkan deringnya yang melengking, buru-buru Ify menekan tombol kecil di atasnya, dengan satu kalimat pendek diiringi tawa.

“Telat, lo! Gue udah bangun dari tadi, tau!”

Ify buru-buru lari ke kamar mandi. Cepat-cepat mandi, cepat-cepat salin, cepat-cepat nyisir, dan segala persiapan lain yang serba cepat-cepat.

Acha, adik Ify yang tidur sekamar dengan Ify bangun langsung kaget dan panik.

“Hah! Jam berapa, nih? Jam berapa?”

“Setengah enam.”

Grabak-grubuknya Acha beres-beres buku langsung berhenti.

“Apa? Baru setengah enam? Kok elo udah rapi gitu?

“Emang nggak boleh?”

“Bukan gitu... ah... gue tau, deh! Lo pasti mau bikin sontekan buat ulangan jam pertama, kan?”

“Sok tau, lo.” Ify menjitak kepala adiknya, langsung ngibrit ke ruang makan, sarapan kilat dan buru-buru lari ke luar.

***

Betapa kagetnya Ify begitu tiba di sekolah, karena dia pikir dia bakalan jadi orang pertama yang menginjakkan kakinya di sekolah. Tapi ternyata, boro-boro! SMA Buana Karya sekolah Ify ini memang masih sepi, tapi begitu sampai di kelas... udah lengkap, bo’...!

Ify kontan bengong. Gila ih! Cowok-cowoknya sih sebiji juga belum ada, tapi cewek-ceweknya, asli udah komplet!

Dan yang paling buat keki, bangkunya ternyata keburu disambar orang. Febby telah bertengger manis di sana. Terpaksa Ify ngungsi. Sementara duduk di mana saja dan agak jauh pula, karena semua bangku di sekitar mejanya sudah berpenghuni.

Ify makin bengong begitu sadar pagi ini telah banyak terjadi perubahan. Kalau dia responsnya cuma bahagia dan berbunga-bunga sampai terbawa mimpi, reaksi teman-temannya lebih dahsyat lagi. Ada yang rambutnya jadi keriting. Ada yang kemarin-kemarin keriting pagi ini mendadak jadi lurus.

Aren, yang rambutnya ikal pagi ini sih tetap ikal. Cuma basah. Dan sampai bel pulang itu rambut gak kering-kering juga. Oliv jadi serba biru. Dari sepatu, kaus kaki, ikat pinggang, tali jam, bros, sampai bando. Oik yang perasaan tingginya cuma beda lima senti dengan Ify, pagi ini jadi menjulang. Selidik punya selidik, ternyata sepatunya ada haknya, ding! Angel yang punya mata indah, pagi ini melepas kacamatanya dan pakai lensa kontak. Sudah pasti supaya mata indahnya keliatan jelas. Tapi yang paling membuat Ify kaget, Zahra dan Agni pakai eyeshadow! Meskipun tipis, tetap aja keliatan. Supaya tidak ketahuan guru, waktu jam pelajaran mereka menutupnya dengan poni.

Dan pagi ini kelasnya jadi begitu semerbak dengan segala macam wangi-wangian. Cowok-cowok yang datang kemudian, masuk dengan ekspresi bingung.

“Duileee... wangi-wangi amat, sih?” kata Deva sambil menatap sekeliling sambil mengendus-ngendus.

Sementara Dayat menatap muka Febby sampai jereng.

“Mata lo kenapa kok ada kelip-kelipnya?”

“Gak usah rese, deh!” jawab Febby ketus.

So, alhasil cuma Ify seorang yang pagi ini tanpa perubahan apa-apa. Tetap mungil, tanpa hiasan apa pun, baik di kepala-pundak-lutut-kaki. Tetap Cuma pakai bedak di muka. Tetap cuma bau cologne yang biasa di pakai bayi.

***

Besoknya Ify tidak mau datang pagi-pagi. Soalnya kata Mang Dadang, penjaga sekolah, sejak subuh, kelasnya sudah penuh. Jadi kesimpulannya, kalau mau datang paling dulu, ya jangan pulang. Alias tidur di sekolah sekalian!

Tapi Ify sempat bengong juga begitu datang sesuai jadwal yang biasa, tujuh kurang lima belas menit. Kelasnya penuh dengan cewek yang bertebaran di sana-sini.

“Ekskyusmi! Ekskyusmi!!!” teriaknya sambil berusaha menerobos masuk.

Begitu sampai di mejanya Ify lebih tercengang lagi. Zahra dan Agni duduk dempet-dempetan di bangkunya! Seperti gak ada tempat lain aja. Di bangkunya Ray, Oliv duduk desak-desakan berdua bareng Prissy, anak Bahasa yang kelasnya ada di gedung seberang. Di bangku Obiet dan Oik, dua orang yang duduk di belakang Ify, juga penuh. Bangku Debo sama Ozy yang duduk di depannya juga begitu. Pokoknya semua bangku di sekitar bangku Ify dan Rio penuh cewek. Membuat anak-anak yang dating belakangan jadi jengkel dan akhirnya, sama seperti Ify terpaksa ngungsi sampai bel berbunyi karena kebanyakan cewek-cewek itu susah banget diusirnya.


Besoknya, Ify baru nongol setelah nyaris bel. Percuma saja dia datang pagi-pagi, soalnya paling Cuma bisa titip tas. Karena siapapun yang duduk di bangkunya, tidak bakalan mau berdiri dan enyah dari situ kalau bel belum berbunyi.

Selain itu, buat apa dia sampai harus seperti mereka? Toh, dia akan duduk di sebelah Rio, dalam jarak yang paling dekat, dari jam tujuh pagi sampai dua siang. Tujuh jam! Dan selama waktu itu, kecuali jam istirahat pastinya, tidak ada yang berani merebut bangkunya. Jadi biar saja cewek-cewek itu berebut saja.

Selain itu setelah dua hari duduk bersebelahan dengan Rio, Ify mulai mencium ada sesuatu yang ganjil pada cowok itu. Dia cuek banget sama cewek. Terlalu cuek. Sadis malah!
Itu langsung terasa di hari pertama Rio duduk di sebelanya. Dari jam tujuh pagi sampai jam dua siang, cowok itu cuma ngajak ngomong satu kali. Cuma satu kali! Itu juga cuma tanya nama.

“Nama lo?”

Jawaban Ify juga jadi agak-agak gimanaaa gitu. Soalnya Rio nanyanya mirip polisi yang menginterogasi perampok sih. Menatapnya tajam dan tanpa senyum!

“Ify. Alyssa...”

“Udah? Cuma itu?” sepasang alis Rio bertaut.

“Iya. Kenapa?” tanya Ify risih agak jengkel. “Kependekan? Kalo mau nambahin, nggak apa-apa kok. Asal jangan minta dicantumin di akte aja.”

Baru bibir Rio mengembangkan senyum. Tipis dan cuma sesaat.

“Nggak. Alyssa... Singkat tapi bagus. Nama lo bagus.”

Cuma itu! Hari kedua dan hari ketiga malah... Blas! Ify dianggap tidak kasat mata. Hari keempat lagi-lagi cuma satu kalimat selama tujuh jam. Itu juga dalam rangka pinjam pensil. Dan si Rio itu, keren-keren begitu ternyata kalo pinjam property orang suka lupa ngembaliin. Sementara Ify-nya juga ngeri mau minta.

Tapi cueknya Rio itu ternyata malah melambungkan namanya. Di mana-mana sesuatu yang misterius itu memang lebih membangkitkan rasa ingin tahu. Ify selalu sendiri, bukannya tidak mau mengakrabkan diri. Tapi pengamatannya, Rio itu kalau di ajak ngomong atau ditanya, jawabannya cuma “nggak”,”iya””masa?” atau “gak tau”. Malah sering banget dia berlagak budek. Kalau ada yang nekat bertanya, tanpa memperdulikan sikap penolakannya yang terang-terangan, dengan sadis Rio menatap sang penanya, diikuti kalimat bernada dingin.

“Bisa gak sih lo nggak ganggu gue?”

Atau kalau dia sudah kelewatan jengkel, si penanya itu cuma ditatapnya tajam-tajam tanpa ngomong sedikitpun!

Mengerikan banget kan?

Makanya Ify malas mau coba-coba ngajak ngobrol. Takut kena libas mata dinginnya Rio. Baru jadi penonton aja sia suka nelangsa, apalagi kalau ikut kebagian juga. Bisa berantakan hati dan harga dirinya. Ify melirik cowok di sebelahnya diam-diam mencibir dalam hati. Dia kira dia siapa jaim banget, gitu.

***

Di depan kelas Cakka, yang baru masuk hari ini setelah satu minggu absen gara-gara gejala tifus sedang mencatat daftar pesanan teman-teman sekelas, seperti biasa.

“Aye kagak pake semur jengkol, Cak!” kata Ozy.

“Aye kagak pake semur terong!” teriak Deva dari belakang. “Lagian emak lo maksa banget sih? Terong di semur. Nape kagak timun aje sekalian!”

Cakka nyengir kuda.

“Entu baru namenya inopatip,” kilanya.

Tiba-tiba Rio ketawa. Tertegun Ify menatap pemandangan yang baru pertama kalinya itu. Juga cewek-cewek sekelas, yang juga kontan terpesona pada sebentuk tawa dan sepasang mata dingin semakin memukau dengan bias hangatnya.

“Emang siapa yang jual nasi uduk, Fy?” tanya Rio tiba-tiba. Ify tersentak.

“Eh? Oh, itu Nyaknya si Cakka.”

“Oooh.” Rio tertawa lagi. “Elo mau?” Ify tersentak lagi.

“Mau apa?” dia langsung gugup.

“Ya nasi uduklah.”

“Oh, nggak deh udah bosen. Elo mau? Mesennya mesti pake bahasa Betawi, loh.”

“Kenapa?” Rio menoleh heran.

Perlu diketahui, Cakka memang cuma melayani pemesanan yang memakai bahasa Betawi. Untuk meredam arus globalisasi katanya, eh katenye. Jadi supaya nilai-nilai tradisional tidak tergusur. Yang kebarat-baratan kayak Deva, so pasti tidak dilayani.

“Elo pesennya ke Amrik aje gih, sono!” begitu kata si Cakka waktu Dayat minta sebungkus.

“Nggak masalah!” jawab Rio enteng. Ify mengerutkan kening.

“Elo kan belom lama di Jakarta”

“Emangnya harus di Jakarta dulu baru bisa bahasa Betawi? Sinetronnya Mandra udah cukup buat referensi.”

Dan Rio membuktikan ucapannya.

“Ade nyang sebungkusnye gopek kagak?” tanyanya garing, cewek-cewek langsung pada bengong.

Ya ampun! Keren-keren mulutnya cablak! Ify menutup mulut, menahan tawa.

“Ade,” Cakka mengangguk. Yang lain kontan protes.

“Ah, elo! Mentang-mentang die anak baru, kemaren-kemaren elo kagak kasih. Paling melarat ceceng!” protes Dayat, langsung yang lain pada ber-“he-eh” ria.

“Sekarang ade,” jawab Cakka.

“Kalo gitu gue nyang gopekan aje, dah,” ujar Rio. “Menunye ape? Nasi doangan? Kagak pake ape-ape? Biar katenye Cuma nasi, tapi kalo nasi uduk sih enak aje.”

“Siape bilang nasi doangan?” kata Cakka, “ade sayurnye juge.”

“Ah, nyang bener, lo?” Dayat terbelalak. “Wah, nih die zaman masih suseh begini jarang-jarang ada makanan nyang masih mure.”

“Iye, sayur sisa kemaren. Nasinye juge, mangkenye khusus nyang pesen gopekan entar gue liat dulu. Ade sise ape kagak.”

Semuanya tertawa.

“Jahat lo nasi basi aje gopek!”

“Nyang kagak basi juge ade, Yat. Tapi keraknye doang! Mau lo?”

Semuanya tertawa lagi. Termasuk Rio dia malah bangkit terus pindah duduk di bangku Ray. Persis di depan Cakka.

Ify mengamatinya diam-diam. Ada yang makin aneh pada diri Rio. Kalau sama cowok dia normal, wajar apa adanya. Tapi kenapa kalau sama cewek dia sadis banget, ya?

***

“Minggirrr!!!”

Semua tersentak kaget dan seketika menoleh ke sumber suara. Termasuk Ify yang lagi mengungsi di bangku Cakka. Saat itu Ify tengah asyik memperhatikan Deva, teman sebangku Cakka, yang lagi membuat sketsa. Si Deva ini emang jago mengambar dan ilustrasi-ilustrasinya sering muncul di majalah-majalah.

Sama seperti yang lain, Ify terkesima manatap bangkunya sendiri. Sejak kedatangan Rio, bangku itu serasa jadi kavelingnya Oliv. Di sebelah Oliv, wajah Febby tampak pucat gara-gara dibentak Rio barusan.

“Elo nggak denger? Gue bilang minggir!?” bentak Rio lagi.

“Gue.. gue cuma numpang duduk kok,” jawab Febby gagap.

“Ini bukan bangku kosong!” sambar Rio. “Lo bisa duduk di bangku laen! Jangan di sini! Cepet pergi..!”

Saking tidak percayanya Rio bisa sadis begitu, Febby kontan membeku di tempat. Dan itu malah mmembuat Rio meledak.

“CEPET PERGI!!!!!”

Bentaknya dengan suara menggelegar, diikuti pukulan keras di meja. Benda itu menderit seiring memucatnya wajah-wajah yang berkerumunan di sekitar situ. Febby? Jangan ditanya lagi. Mukanya putih asli! Dan dengan gerakan mirip robot dia berdiri dan lari keluar sambil nangis.

Dengan tenang, tanpa merasa sudah melakukan tindakan keterlaluan, entah sadar atau memang masa bodo dengan suasana kelas yang mendadak jadi benar-benar senyap, Rio menjatuhkan tubuhnya ke bangku.

Namun mendadak ekspresi wajahnya jadi kaku lagi begitu sadar ada sesuatu yang bertengger manis di atas mejanya. Sebuah kotak kue penuh potongan blackforest dengan sebutir ceri merah di setiap potongannya. Serpihan-serpihan coklat menutupi seluruh permukaan kue. Tapi ternyata Rio tak terpengaruh.

“Ini punya siapa?” tanyanya sambil menatap satu-satu kerumunan cewek di sekitarnya
Oliv yang tengah duduk persis di sebelahnya menjawab pelan. Jadi ngeri juga dia setelah menyaksikan jatuh korban.

“Buat... elo, Yo.”

Seketika mata elang Rio menyambarnya. Dan kerena kebetulan Oliv di sebelahnya, Rio menghadapkan wajahnya persis di depan Oliv. Jantung cewek itu serasa jumpalitan. Senang juga, tapi juga ngeri.

“Elo denger yah!” desis Rio, “gue bukan orang yang kelaperan! Jadi nggak usah lagi lo bawa yang macem-macem!!!”

Cowok itu memajukan wajahnya. “Sebenernya apa sih maksud lo bawa-bawa makanan segala?”

“Ngg... nggak kok,” Oliv makin tergagap. “Itu juga... kalo elo suka, kalo nggak juga nggak apa-apa.”

“Gitu, ya?” Rio menarik kembali wajahnya. “Kebetulan... gue gak suka.” Suaranya mengeras “Ambil cepet! Gue perlu ini meja!!”

Namun Oliv bergeming. Meskipun mengerikan inilah saat yang ditunggunya. Sampai mimpi-mimpi malah bisa duduk di sebelah Rio.

“Cepet ambil!!!” bentak Rio. Oliv tetap bertahan tak memberikan reaksi.

Dengan jengkel Rio meraih kotak kue, lalu menyodorkannya ke cowok-cowok yang duduk berkerumun tak jauh dari situ.

“Elo pada mau, nggak?”

Langsung aja mereka menyerbu.

“Asyoooooiiii… jelas mau banget dong.”

Kotak itu berpindah tangan ke segerombolan mulut-mulut rakus yang menyambut dengan sorak kegirangan. Sejak tadi mereka memandangi kue itu, tapi cuma bisa ngiler karena Oliv yang memang special membawa kue untuk Rio, jelas tidak sudi ngasih. Dan kue itu ludes dalam sekejap.

“Enak gilaaa!” kata Dayat sambil menjilat-jilat tangan. Satu isyarat samar dari sepasang mata Rio membuatnya tahu, apa balasan untuk kue yang barusan ia makan.

Dayat menghampiri Oliv dengan kotak kosong di tangan.

“Enak banget, Liv. Gila deh!” katanya. Tidak jelas memuji atau merayu. “Elo bikin sendiri, ya? Atau beli? Kalo bikin sendiri, waaah... elo bener-bener hebah deh. Udah cakep, pinter bikin kue pula!”

Ucapan Dayat membuat seisi kelas ketawa. Sementara Oliv...  Muak! Dari dulu dia benci banget sama si Dayat ini. Udik, tapi ngaku cool.

“Dung... Cek! Dung dung... Cek!!! Di belakang Dayat, Cakka berjoget-joget. Girang banget dia. Musuh bebuyutannya dipermalukan begitu.

“Untung kagak elo makan, Yo, ketauan ade jampi-jampinye tuh. Buktinye Dayat langsung jatuh cinte.”

“Diem lo, nyet!” bentak Oliv, membuat seisi kelas ketawa lagi.

Akhirnya Oliv pergi, karena dua alasan. Pertama, Rio sibuk sama bukunya dan tidak ambil pusing dengan adegan ungkapan cinta yang terjadi di sebelahnya. Kedua, karena Dayat benar-benar membuat Oliv ingin muntah.

Cewek-cewek yang lain kontan ikut pergi begitu kepala suku hengkang dari situ.

“Bangku lo udah kosong tuh. Balik gih,” Deva mengingatkan cewek mungil di sebelahnya. Ify langsung geleng kepala.

“Ngg... gue duduk di sini yah, Dev?” pintanya melas. Deva tertawa.

“Bilang sama yang punya bangku dong.”

Ify langsung menoleh ke sana kemari. Mencari si Cakka.

“Cakka. Ssstt!” panggilnya lirih. Cakka menoleh tetapi tak berani keras-keras. Cuma tangannya yang memberi isyarat. Cakka berdiri dan menghampiri.

“Ape?”

“Gue duduk di sini ya? Sehariii aja.”

“Kenape emangnye?”

“Elo nggak denger tadi?”

“Pan bukan elo nyang kena bentak.”

“Ya kali aja ada session keduanya. Boleh ya, Cakka? Please...”

“Ini kan sarang penyamun, Fy,” kata Deva. “Gak ada cewek di sekitar sini.”

“Tau nih anak, elo mau di godain Daud ampe jam terakhir?”

“Gak apa-apa deh mendingan digodain,” jawab Ify spontan. “Abis gue takut duduk di sana.”

Deva dan Cakka tertawa geli.

“Kalo elo kayaknya gak apa-apa deh,” Deva menenangkan. “Buktinya dia milih duduk di sebelah elo, padahal masih banyak tempat kosong. Lagian juga kalo elo duduk di sini, lo gak bakalan bisa ngeliat apa-apa. Daud di depan lo persis.”

“Iye,” Cakka mengangguk. Memang, di depan Cakka ada Daud, si jangkung anak basket. Duduk di belakang Daud dijamin Cuma bisa menyaksikan satu pemandangan: punggung cowok itu. Tapi masih mending begitu daripada kena bentak Rio.

“Yuk gue anterin,” kata Cakka.

“Yaaah… Cakkaaa…”

“Mangkenye gue anterin, biar aman, kagak bagus elo duduk di belakang gini.”

Ify bangun ogah-ogahan. Sebelum dia pergi, sambil tertawa Deva berbisik di kupingnya, “Ati-ati, Fy. Jangan duduk ngebelakangin Rio. Entar tau-tau elo dicekek!”

“Elo nih, jangan nakut-nakutin gue dong!” Ify melotot kesal.

Deva tertawa.

“Udeh kagak useh didenger,” Cakka menarik Ify ke habitatnya. Sebelum meninggalkan bangku Ify, Cakka berbisik ke Rio, “Doi ketakutan tuh, ampe nekat mau duduk di bangku gue.”

“Oh ya?” mata Rio seketika menyipit. Diliriknya Ify mulai sibuk mengeluarkan buku-bukunya. Ketika tatapan mereka bertumbukan, sepasang mata cewek itu buru-buru menghindar. Kejadian berikutnya Rio jadi tambah geli.

Hari ini ada jam kosong. Dua jam. Makanya Ify membawa sekotak kue kebangsaannya kaasstengel, serta satu Aqua gelas. Diletakannya kue itu di meja, disusul buku Open the Earth’s Hidden Secrets buku yang heboh banget dan tak sabar ingin cepat-cepat dia tamatkan. Tapi kesibukannya langsung terhenti waktu tak sengaja dia melihat Rio sedang memperhatikan kotak kuenya.

“Ng... itu buat gue sendiri kok, Yo, bukan buat elo. Dan gue juga nggak bermaksud nawarin ke elo. Bener deh!!!” kata Ify buru-buru, takut dikira mau ikutan carmuk.

Rio jadi menahan tawa. Apalagi begitu dilihatnya ternyata Ify benar-benar melahap semua kuenya tanpa menawarinya sama sekali. Lekat ditatapnya gadis yang tenggelam dalam buku sambil mengunyah itu. Mengamati sikapnya, mempelajari sikapnya dan mendadak satu rencana muncul di kepala Rio.

***

Sejak kejadian itu, cewek-cewek jadi pada ngeri kalau mau overacting di depan Rio, kecuali yang kulitnya betul-betul badak, atau mungkin yang awalnya evolusinya emang dari badak. Contohnya si Febby itu.

Meskipun sempat kena bentak, Febby pantang mundur. Cewek satu ini betul-betul “penyandang cacat”. Tak bisa mendengar, tak bisa melihat, tidak bisa berbicara, itu masih mendingan. Cacatnya Febby ini termasuk yang sudah kronis. Dia tidak bisa malu. Atau bahasa Indonesia bakunya: “Nggak Punya Udel”

“Sekasar-kasarnya cowok, kalo kitanya tetep sabar, mereka pasti bakal luluh juga,” begitu Febby punya teori. Yang mendengarnya jelas jadi pada mangap.

“Lo gila banget, sih,” desah Ify sambil geleng-geleng kepala. “Emangnya lo nggak sakit hati dibentak kayak kemaren? Gue yang cuma denger aja mau marah.”

“Oh, itu masih mending, Fy. Bearti masih ada komunikasi.”

Ify ternganga. Juga semuanya, trus yakinnya, benar-benar berani mati, Febby duduk di bangku Rio tanpa bertanya-tanya apakah yang punya lagi butuh atau tidak. Ify geleng-geleng kepala dan segera keluar kelas. Meskipun sebentar lagi bel masuk, daripada menyaksikan adegan Febby dilibas Rio, mending dia minggat.

Satu sosok dari kejauhan yang baru turun dari bajaj, membuat Ify buru-buru lari menghampiri.

“Vi, kok tumben lo telat?”

“Iya, Fy. Abisnya semalem ada tamu. Baru mulai ngebungkusinnya jam sembilan. Selesainya udah lewat midnight,” jawab Sivia, sambil menurunkan kantong-kantong plastik. Ify buru-buru menolong.

“Kenapa nggak telpon gue? Langsung ke koperasi nih?”

“Iya.”

Dua-duanya melangkah menuju koperasi sekolah sambil menenteng kantong plastik di kedua tangan.

“Elo nggak ke kelas, Fy? Udah lewat sepuluh menit, nih,” Sivia menatap heran sohibnya yang masih membantunya menyusun bungkusan keripik singkong pedas di nampan-nampan sambil mencatat.

Ify menarik napas.

“Gue ngeri, Vi.”

“Kenapa?”

“Biasa, si Rio.”

“Oh. Siapa lagi yang dia babat?”

“Febby...”

“Oh!” Ify meringis. “Biar aja kalo Febby sih. Dia emang badak.”

“Bukan gitu masalahnya Rio tuh nggak punya perasaan, tau gak? Bentak-bentak orang seenaknya. Gak peduli tempat, gak peduli banyak orang.”

“Mungkin dia udah kesel banget, kali.”

“Gue pengin pindah duduk deh, Vi, tapi ke mana? Nggak ada bangku yang enak.”

“Rio aja yang lo usir, itu kan tempatnya Alvin. Kalo tiba-tiba Alvin masuk gimana?

Ify sontak terbelalak.

“Oh iya, ya ampun! Kenapa gue bisa lupa sama Alvin, ya? Abis lama bener sih tuh anak gak masuk-masuk. Gue juga belom tau kaki tuh anak udah sembuh apa belon. Katanya kan dipasangin pen. Tapi, Vi… masalahnya, ngomong ke Rio-nya itu yang gue ngeri.”

“Pelan-pelan. Pokoknya jangan keliatan kalo elo tuh udah gak betah duduk sama dia.”

*** 

Itu memang jalan keluar yang paling baik. Tanpa terkesan bahwa sebenarnya Ify ingin menghindar, Rio harus tahu bahwa bangku yang sekarang dia tempati itu ada penghuninya. Alvin, yang sekarang di opname. Memang masih lama sih masuknya, tapikan tetap aja tuh bangku ada yang punya. Ify harus ngomong begitu, supaya mau tidak mau Rio pindah tempat. Cari bangku lain. Dan itu berarti, Ify bakalan terbebas dari si ganteng yang misterius dan membuatnya takut itu.

Akhirnya di suatu siang, setelah berharu-hari mundur maju, Ify nekat ngomong masalah itu.

“Hmm…, begini, Yo, gue mau ngomong nih. Tapi...”

“Penting?” potong Rio dengan nada dingin.

“Penting! Penting!!!” jawab Ify buru-buru. Rio menatapnya, menunggu.

Meskipun niatnya mau serius nekat, tetap saja Ify langsung panik begitu sepasang mata dingin itu menatapnya lurus.

“Hmm... t-tapi... tapi elo jangan marah, ya?”

“Tergantung omongan lo.”

Mati gue! Ify langsung nyesal sudah berani nekat.

“Begini, loh,” katanya. “Mmm… bangku yang sekarang elo tempatin itu… ada orangnya... Mmm... dia sekarang bakalan gak masuk lama. Tapi kan, bangkunya tetap aja ada yang punya.”

“Oh, ya?” Rio kaget. “Siapa?”

“Hm... Alvin,” jawab Ify makin waswas, takut Rio meledak. “Sori ya, Yo. Sebenernya waktu itu gue mau ngasih tau elo. Cumaaaa...”

“Nggak apa-apa, sekarang Alvin-nya ke mana?”

“Diopname. Kecelakaan.”

“Di mana?”

“Rumah Sakit Jakarta.”

Rio terdiam. Tiba-tiba dia pergi begitu saja. Ify bangong. Buru-buru dia mengejar cowok itu.

“Yo... Rio! Elo jangan marah dong, gue yang pindah aja, deh. Elo di situ aja nggak apa-apa kok nanti gue yang bilang ke Alvin.”

“Kapan elo mau bilang ke Alvin?” mendadak Rio menghentikan langkahnya. Ify seketika mengerem larinya, hampir saja menabrak tubuh jangkung Rio.

“Yaaah…” Ify jadi bingung. Tidak menyangka bakal begini reaksi Rio. Besok ada ulangan, gumamnya dalam hati, lusa juga ada. “Dua hari lagi mungkin.”

“Jadi Kamis?”

“Iya.”

“Oke!” Rio mengangguk. Dan lagi-lagi dia pergi begitu saja.

Ify mendesis jengkel. Benar-benar gak punya perasaan! Mentang-mentang keren!

Kini Ify menyadari akibat omongannya tadi. Bukannya Rio yang pergi, malah dia yang sekarang harus minggat cari tempat duduk baru. Sedih! Mana pilihannya tinggal yang parah-parah lagi!

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar